9 Dec 2007

Seni = Kambing Hitam

Ini cerita saya habis kuliah Metode Penelitian kamis kemarin. Pak Hastu dosen saya nerangin statistik, survei, sampel, populasi dan semacamnya. Beliau ngejelasin macem-macem metode survei dari simple random sampling sampai multi stage cluster. Sebagai contoh dia ngasi perbandingan quick count yang dilakuin LSI, UI dan hasil perhitungan manual KPUD dalam Pilkada DKI yang dimenangin Fauzi Bowo beberapa waktu lalu. Intinya dengan pemilihan sampel yang tepat, kita bisa nebak hasil Pilkada dengan akurat. Dalam bahasa statistik, sampel yang dipilih mampu merepresentasikan populasi.

Pertanyaan saya, yang dijadiin sampel kan ribuan Tempat Pemungutan Suara (TPS) tuh. Gimana caranya milih sampel yang tepat, atau kalau dalam bahasa statistik tadi, sampel yang dapat merepresentasikan populasi? Dosen saya menjawab “Nah itu seninya memilih sampling..” He??

Saya penasaran kenapa di ilmu statistik yang udah muncul ratusan taun, yang semakin kesini pastinya semakin advance, ada pertanyaan sederhana yang ga bisa dijawab? Dan fenomena “hal sederhana yang ga terjawab” ini ternyata berlaku di banyak kesempatan.

Misalnya nih ya, di sebuah organisasi yang basic ilmunya, ilmu kepemimpinan, udah dipelajari sejak manusia berkoloni di bumi, kadang terjadi situasi dimana anggota ga lagi nurut sama ketuanya. Lalu timbul pertanyaan sederhana, “Qo anggotanya ga nurut sih?”. Jawabannya pasti “Nah itu seninya jadi pemimpin!!”

HIpotesis saya, seni adalah kambing hitam, hehe. Maksudnya di berbagai disiplin ilmu atau hal apapun, ada prosedur yang harus diikuti sebagai cara buat mengaplikasikan teori ke dalam praktek. Tapi pada kondisi tertentu ada hal-hal yang ga bisa diterangin sama teori. Untuk hal-hal yang sifatnya di luar domain sebuah ilmu tadi, kita lalu seenaknya menyebutnya “seni”. Hoho, kasian sekali seni ini. Jadi alasan kalo kita udah mentok di satu masalah. Tapi gapapa, itu seninya jadi seni, haha..



5 Dec 2007

Udah Gede Qo Nggak Ngrokok? (2-tamat)

Saya jadi tergelitik buat membahasnya. Gini, dari interaksi saya dengan lingkungan saya di kampus dan masyarakat, saya meyakini nilai bahwa ngrokok itu tidak baik dan minum itu dilarang. Sejauh yang saya temui dimanapun saya bersosialisasi, rata-rata mereka sepakat dengan nilai moral ini. Hipotesis sementara saya: nilai moral berlaku pada lingkungan yang cukup atau bahkan sangat luas.

Tapi hipotesis saya terbantahkan pas saya ketemu sama sodara-sodara saya tadi. Di lingkungan keluarga yang harusnya jadi penjaga nilai moral utama atau role model, ngrokok bukan jadi masalah dan minum ga dilarang. Bahkan rokok dijadikan justifikasi bahwa seseorang dianggep gede kalo udah ngrokok, based on celetukan sodara saya,”udah gede qo ga ngrokok..”. Aneh, dunia jadi kebalik-balik. Saya, yang ga ngrokok, berarti belum gede dong?

Hipotesis saya perbaiki: Nilai moral ternyata berlaku sangat lokal. Agaknya benar kata peribahasa: Dimana langit dipijak, disitu langit dijunjung. Nilai moral yang saya anut berbenturan dengan nilai yang berlaku di lingkungan keluarga besar. Tentu saya ga sepakat, tapi di lingkungan ini mau nggak mau saya yang harus menyesuaikan.

Meski begitu kadang-kadang saya setuju ding. Tadi malem saya nonton Konser Seringai di AACC. Di tengah lagu yang judulnya Alcohol, Arian nantang penonton yang berani ngabisin bir sekali teguk. Suasana jadi panas. Ada satu yang maju. Arian nyuruh crowd buat nyemangatin. Tepuk serentak penonton membahana. Saya, sejenak lupa sama nilai moral saya, larut dalam koor. “Uoooo... habisin lae, habisin... bangsat lah kalean semua! Ini baru rock n roll!!!!”

Saya khilaf, haha, tapi menikmatinya.

baca juga udah gede qo nggak ngrokok (1)

Udah Gede Qo Nggak Ngrokok? (1)

Ini cerita pas lebaran kemaren, pas saya lagi kumpul sama sodara-sodara di Semarang. Udah agak lama sih, tapi masih relevan. Di suatu kesempatan, kita berame-rame dari keluarga papa piknik ke Bandungan – Jogja – Solo. Yang tua-tua pada punya kamar sendiri, begitu juga yang muda-muda. Jadilah kita yang muda-muda ini berkumpul di satu kamar.


Malemnya kita begadangan, main kartu, ketawa-ketawa. Buat saya ini sangat menyenangkan, soalnya kita bisa kumpul banyakan gini cuma kalo lebaran doang. Saat malem mulai larut, mulailah sodara-sodaraku yang kebanyakan cowok ini keluar alter egonya. Pertama cuma rokok, asep di sana, asep di sini. Lama-kelamaan keluar juga senjata rahasianya: sebotol JackD. Weww..


Pas rokok mulai disulut, ada satu sepupu yang paling kecil, SMA kelas 1, ditawarin rokok. Dianya ga mau. Kata mas-mas yang lainnya: Udah gede qo ga ngrokok? Sekali-dua kali rayuan ga mempan, tapi rayuan berikutnya pertahanannya luluh. Mulailah dia nyalain Marlboro Menthol. Asep jadi semakin tebel. Saya, yang emang ga ngrokok, ketawa-ketawa aja.


Berikutnya botol JackD dibuka. Kebetulan kita lagi main kartu. Aturan mainnya, yang kalah minum dikit. Deal, semua setuju kecuali saya, yang juga ga minum, sama kakak kandung saya dan sepupu yang paling kecil tadi. Seteguk demi seteguk orang yang kalah mulai minum, sampai tiba gilirannya ponakan saya yang kecil tadi kalah. Bingung dianya diminum apa ga. Tanya ke saya,”Gimana mas raka?” “Rak sah rak wes.” Hmm, tapi berhubung yang lain pada anteng aja minum, kayaknya dia kepengaruh. Mungkin pikirnya, “Kalau mas-mas aja pada minum, berarti aku boleh dong.” Jadilah dia ikut nyicip mimik jahat.


-bersambung-