30 Nov 2007

Sebuah Negeri Bernama Endonesia

Cerita ini saya dapet dari metroTV, pas peringatan Hari Pahlawan. Gini, kita punya negara yang namanya "Indonesia", semua pada tau lah ya. Negara yang umurnya udah 62 taun, penduduknya 200 jutaan, yang ga beranjak dari status negara sedang berkembang, dan embel-embel lain yang (menurut saya) lebih banyak negatifnya daripada positifnya.

Kita punya banyak ahli yang pinter banget memberi solusi buat nyelesaiin kasus bangsa. Ada yang jago nganalisis ekonomi, ada yang jago analisis politik, macem-macem lah. Sebagian dari kita, orang awam, percaya kalau solusi-solusi yang mereka tawarin bakal mampu membawa Indonesia jadi lebih baik. Sebagian lagi manggut-manggut entah ngerti entah atau nggak apa yang mereka omongin.

Cuman ada satu hal sepele yang mungkin kelewat dari pandangan semua rakyat Indonesia. Semua orang menyebut negara Indonesia dengan sebutan "Endonesia". "I" disebut "E", jadinya dilafalinnya "Endonesia" bukan "Indonesia". Bahkan reff lagu kebangsaan kita pun nyanyinya "Endonesia raya, merdeka.. merdeka.." Iya kan? Pernah tau ga ada orang nyebut Indonesia dengan sebutan "Indonesia". Saya sih belum pernah..

Jadi, kalau selama ini banyak orang berbicara tentang Indonesia, mendeskripsikan masalah bangsa, ngasi beribu solusi, itu semua salah sasaran. Yang mereka bahas itu sebuah negara antah-berantah yang namanya "Endonesia", sebuah negeri yang entah dimana adanya. Sementara negara kita sendiri, negara "Indonesia", ga pernah sekalipun kita perhatiin. Negeri yang katanya gemah ripah loh jinawi ini ga akan pernah jadi makmur dan sejahtera, kalau ga ada yang mau peduli buat ngebangun.

Pepatah bilang perubahan harus dimulai dari diri kita sendiri, dari hal yang kecil dan dari sekarang. Sebelum kita sok nyelesaiin masalah "Indonesia", kita rubah dulu cara nglafalin nama negara kita, ga lagi "Endonesia" tapi "Indonesia". Sip2..

3 Nov 2007

Kasta Antarras Manusia

Weekend ini planologi ITB lagi ngadain seminar International Regional Science Association (IRSA). Intinya mah ini seminar gede-gedean berskala internasional yang dihadiri sama banyak praktisi dunia perencanaan, dalam dan luar negeri. Tamu asingnya ada dari Polandia, Korea, Australia sama banyak lagi. Kebetulan saya jadi panitia jadinya bisa ngamatin hal-hal aneh yang terjadi.

Salah satu yang saya liat, setiap ada tamu yang dateng panitia tiba-tiba jadi riweuh alias heboh sendiri. Pas si bule dateng buat daftar di meja registrasi, orang-orang jadi pada ngerubungin. Pada nanya-nanya, nawarin bantuan, blablabla. Anehh. Kalo yang dateng orang lokal ga pada heboh gitu tuh. Hmm kenapa coba?

Pertanyaan ini coba saya tanyain ke temen-temen himpunan. Ada yg jawab,”Mungkin karena kita jarang liat orang bule kali ya tinggi, besar, putih. Jadinya pas liat jadi pada penasaran”. Hmm, make sense. Yang lain bilang,”Mungkin Liaison Officernya ga pede kalo sendirian jadi ngajakin temen-temennya.” Bisa juga. Satunya lagi ngasi komentar,”Kita khawatir kali ya itu bule ga ngerti jadinya dipandu banyak orang” Aha rasa khawatir yang sungguh mengharukan..

Saya punya hipotesis sendiri. Menurut saya, mentally, sistem kasta berlaku pada hubungan antar ras manusia di dunia. Ada ras tertentu yang tingkatnya di atas ras lainnya. Dan untuk ras yang lebih tinggi, mereka memperoleh perlakuan yang “lebih” dari ras-ras di bawahnya. Dalam kasus kita, ras yang berada di atas adalah ras bule tadi, sedangkan kita orang Indonesia adalah ras yang berada di bawahnya. Sebagai sudra kita sudah selayaknya memberi perlakuan istimewa kepada kaum brahmana. Hehe, ngawur ya? Tapi paling nggak hipotesis saya terbukti pada kasus registrasi IRSA saya ceritain.

Walau sulit untuk mengakuinya, tapi secara ga sadar dalam banyak hal kita memang selalu mengacu pada dunia barat. Sebagai negara sedang berkembang, kita bermimpi suatu saat kita bisa menikmati hidup selayaknya negara maju. Barat adalah surga dan Timur adalah petaka. Keinginan yang ga kesampaian ini menciptakan hubungan slave-master antara negara maju dan negara berkembang yang dimanifestasikan dengan sikap “ngawula” orang kita manakala berhubungan dengan orang bule. Wah wah qo saya ngomongnya jadi kemana-mana gini, hehe.

Moral of the story yang ingin saya sampaiin adalah kita sebagai orang Timur yang bermartabat tidak seharusnya merasa inferior apabila berhadapan dengan orang bule. Sejelek-jeleknya kita, ini negara sendiri bung! Dan kita harus bangga dong. Kalau memang pingin maju,we must stand in our own feet. Aduh, aduh, saya berasa jadi mau berangkat perang, hahaha. Yasudlah sekian dulu, pamit, pareng…